Selasa, 18 Februari 2020

Empat Hewan Ternak Aceh Ini Disahkan Jadi Bibit Unggul Nasional

Bukan Warteg Biasa

Bisa jadi berikut warung Tegal (Warteg) paling tersohor se-Ibu Kota. Saban hari, seputar 500 konsumen singgah disana. Supir angkot, karyawati, sampai deretan selebritas jadi konsumen setia masih warung ini. Selebritas yang seringkali nongkrong di warung ini diantaranya Group Band Republik, ST 12, Changcutters, sampai pelawak yang anggota DPR Eko Patrio.

Piol, 64 tahun, sang pemilik, belum pernah mengimpikan upayanya berkembang seperti saat ini. Boro-boro memakai taktik dagang, kapan ia mulai upayanya juga ia tidak ingat. Ia cuma ingat merantau dari kampungnya di Tegal, Jawa Tengah serta datang di Jakarta waktu Presiden Soeharto baru dikukuhkan atau seputar 1967. Bersama dengan suaminya, Patumu, ia berjualan kopi serta gorengan di bilangan Tebet. Sasaran pasarnya, tukang becak.

Bermodal utang sana-sini, yang banyaknya telah ia lupakan, Piol berkongsi dengan abangnya, Dasir, 65, membangun Warung Tegal di pojok Jalan Tebet Raya serta Tebet Timur, Jakarta Selatan. “Waktu itu cocok Pak Harto ingin buat Pemilu pertama (1971), gw ingat sebab cocok membuka warung diminta ke kantor kelurahan bikin buat KTP,” kata nenek dua cucu ini. Sasaran pasarnya, masih tukang becak.

Tahun pertama Warteg ini berdiri memang terganggu. Beberapa tukang becak emoh singgah ke warung mereka. “Soalnya juragannya membuka warung nasi, jadi dilarang beli makan di lain tempat,” kata Piol tersenyum.

Mengakibatkan, warung baru kepunyaannya sepi konsumen. “Nunggu yang beli sampai ngantuk,” katanya. Tetapi tidaklah sampai terlintas kemauan tutup upayanya. “Mau makan apalagi, wong modal telah habis,” kata Piol.

Kestabilan tetap membawa hasil. Mereka lihat kesempatan di saat malam. Tukang becak yang kerja sampai tengah malam, serta sampai pagi, perlu pengisi perut. Tanpa ada ingat tahun berapakah, Warteg Jadi Jaya mulai membuka 24 jam. Sasarannya, tukang becak yang sedang shift malam. “Yang menjaga gantian, jika gw sama suami siang, bermakna kakak sama istrinya, malam,” kata Piol.

Dari shift malam warungnya mulai mendapatkan konsumen setia masih. “Siangnya memulai ramai,” kata Piol. Pelanggannya terus makin bertambah. Dua suami istri itu kerepotan layani konsumen serta mulai mempekerjakan karyawan.

Satu antaranya Wajang Zaki, tetangga di muka rumah Piol di Sidakaton, Tegal, yang mulai kerja pada 1996. Ia menjelma jadi simbol disana. Nama Jadi Jaya, hampir belum pernah terekam di ingatan konsumen setia. Konsumen setia lebih kenal warung itu dengan panggilan Warmo atau Warung Mojok. “Entah mengapa gw dipanggil Warmo,” kata Zaki.

Karyawan terus tumbuh bersamaan semakin jumlahnya konsumen setia. Saat ini warung itu mempekerjakan 22 karyawan, yang dibagi jadi dua waktu kerja. “Pagi 14 orang, malam 8 orang,” tutur Zaki alias Warmo, yang didampuk jadi kepala pelayan.

Menurut dia, keunggulan warung itu terdapat pada komplitnya menu. Dibalik etalase, berderet 80 type masakan. Dari mulai gulai nangka, sayur sop, ayam goreng, telur asin, rempeyek udang, dan sebagainya. Itu masih ditambah lagi bermacam type kerupuk, minuman, serta pisang fresh yang bergantung di atas etalase. “Jadi orang yang hadir terus tidak akan bosen,” kata Warmo. Semua menu datang dari resep Ibu Piol.

Muhamad Farid, 37 tahun, jadi berlangganan Warmo semenjak lima tahun paling akhir. Karyawan perusahaan agen perjalanan di Jalan Tebet Raya itu hampir tetap makan siang disana. Faktanya, “menunya super lengkap,” tuturnya. Jadi, ia meneruskan, setiap kali hadir pengunjung dapat pilih menu yang berlainan.

Satu hari, Warmo dapat habiskan 50 kg beras serta 20 ekor ayam. “Kalau ada menu yang habis, langsung dibuat ,” tutur Warmo. Sore itu Tempo mengudap nasi plus gulai usus serta paru goreng seharga Rp 14 ribu. Warmo menolak tuduhan warungnya mahal. Menurut dia, harga sepiring nasi plus telur hanya Rp 5000. “Sama dengan Warteg lain,” tuturnya.

Tetapi harga dapat membengkak. Masalahnya banyak konsumen yang tidak tahan lihat beberapa macam makanan tersaji di muka mata. “Kalau comot ini comot itu ya jadi mahal,” kata Warmo.

Penghasilan warung mungil itu termasuk hebat. “Kami tidak ada sasaran, tetapi Rp 10 juta per bulan sich bisa,” tutur Warmo. Sayang, ia malas mengatakan untung bersihnya. “Itu internal,” tuturnya, tersenyum.

Yang pasti, penghasilan dapat makin bertambah dari sponsor. Di warung padat konsumen itu terpajang minimal dua iklan, yakni produk minuman di papan nama serta obat gosok di kaus seragam pelayan.

Waktu seisi warung repot serta uang mengalir ke pundi, Piol kelihatan enjoy di dapur. Kenakan daster lengan pendek serta penutup rambut, ia tidak paham resep kesuksesan. “Mungkin hanya sebab Tuhan kasihan lihat gw,” kata si nenek. Warung itu sudah mengubah hidupnya. Dari pasangan tidak bersekolah di akhir 1960-an jadi orangtua yang sedang menyekolahkan anaknya di kampus swasta di 2010. Piol serta suaminya, Patumu, 64 tahun, sudah beli rumah Tebet serta naik haji pada 1997.

Mungkin kesederhanaan yang menjadi kunci kesuksesan. Menurut anak buahnya, tidak ada yang beralih pada bosnya. “Gak pernah bertingkah atau kelihatan seperti orang kaya,” kata Warmo. Piol sering kenakan daster lusuh di warung, seperti waktu pertama ia layani konsumen, lebih 40 tahun kemarin.

Matahari turun ke peraduan. Akan menunaikan beribadah magrib, si nenek pamit ke tempat tinggalnya di Gang Trijaya Tebet Barat, seputar 1 km. dari warung, berjalan kaki.

Reza M

Dari Tukang Becak Sampai Anggota DPR

Air liur Eko Indro Purnomo, 39 tahun, langsung ada waktu dengar nama Warmo. Deretan menu kegemarannya seolah terbentang di muka mata, mulai tempe goreng, gulai cumi, sampai telur asin. “Ah, buat gue pingin makan saja,” tuturnya pada Tempo, Kamis pertengahan Maret kemarin.

Ia pertama-tama berkunjung ke Warung Tegal Warmo Jadi Jaya seputar 1999. Awalannya, ia kesusahan cari penawar lapar selesai kerja larut malam. Maklum rumah produksi Ekomando kepunyaannya sering lembur sampai larut. “Kebanyakan tempat makan jam 10 malam telah pada tutup,” kata pria yang akrab dipanggil Eko Patrio itu. Lebih, seleranya ciri khas Indonesia: nasi jadi menu harus.

Warung Tegal yang membuka 24 jam jadi jalan keluarnya. Sebab jarak warung serta rumah produksi Eko cuma seputar 2 km., ia lalu seringkali makan disana. Terkadang ajak kerabatnya dari Group Lawak Patrio: Parto serta Akrie.

Eko mempunyai langkah spesial nikmati makanan di Warmo, yakni mengeduk nasi dengan beberapa macam kuah sayur, lalu dibumbuhi kecap. “Lauknya apa saja, jika dirames demikian tentu enak,” katanya, sambil menelan ludah.

Kesukaan pada Warmo tidak luntur walau ia sudah duduk di bangku terhormat di Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota Komisi X dari Partai Mandat Nasional ini paling akhir makan disana Sabtu (13/3) malam lalu bersama dengan istrinya, Viona Rosalinda.

Meskipun sudah seringkali ajak rekanan dunia hiburannya makan di Warmo, Eko belum ajak partnernya di DPR mencicip sajian di Warteg yang terdapat di Simpang Jalan Tebet Raya serta Tebet Timur itu. “Mungkin kelak, jika habis rapat DPR yang sampai malam serta rekan-rekan pada lapar,” tuturnya, tersenyum.

Wajang Zaki alias Warmo, 35 tahun, kepala pelayan disana menjelaskan deretan pesohor sering singgah di warungnya. Dari mulai pelantun dangdut populer Iis Dahlia sampai group musik pendatang baru Republik, dari aktor tampan Tengku Ryan sampai pembawa acara Ivan Gunawan. Menurut Warmo, kehadiran warungnya menyebar dari mulut ke mulut. “Kalau konsumen setia senang, mereka akan narasi, jadi tak perlu pasang iklan,” katanya, bangga.

Walau warungnya bertabur bintang, Warmo mewanti-wanti bawahannya tidak untuk membeda-bedakan konsumen setia. Dari mulai sopir angkot sampai anggota DPR kudu dilayani sama dengan. “Saya tidak pernah dilayanin spesial, jika penuh ya ngantri,” kata Eko Patrio.

Pemilik warung, Ibu Piol, 64 tahun, tidak memusingkan warungnya didatangi selebritas. Ia serta tidak tahu pesohor-pesohor yang menjadi fans masakannya. “Saya mah jika artis tahunya Mak Wok sama Benyamin S,” katanya, polos.

Reza M

"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar